Rabu, 20 Mei 2015

Resensi Film Sang Pencerah

Resensi Film

Judul Film : Sang Pencerah
Tanggal Rilis : 8 September 2010
Durasi : 112 Menit
Genre : Drama, Sejarah Indonesia
Produser : Raam Punjabi
Produksi : Mvp Pictures
Sutradara : Hanung Bramantyo
Skenario : Hanung Bramantyo
Musik oleh : Tya Subiakto
Pemain : - Lukman Sardi - Agus Kuncoro
               - Slamet Rahardjo - Dennis Adhiswara
               - Zaskia Adya Mecca - Sujiwo Tejo
               - Giring Nidji - Joshua Suherman
               - Ihsan Idol - Yatti Surachman
               - Ikranegara

Dirilis bertepatan Hari Raya Idul Fitri 1432 H., film ini memecahkan rekor pencapaian jumlah penonton di atas 1 juta orang. Tidak ada film Indonesia lain buatan tahun 2010 yang mampu mendekatinya, apalagi menyamainya.
Judulnya merupakan representasi citra K.H. Ahmad Dahlan yang jadi sentral pengisahan film ini. Di masanya, ia merupakan pembaru atau pencerah dari ajaran Islam di Indonesia. Ia kemudian dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah, salah satu organisasi massa bercorak ke-Islam-an terbesar di Indonesia. Kini, anggota dan alumninya mencapai puluhan juta orang dengan fokus utamanya di bidang pendidikan dan kesehatan.
Meskipun film ini berbasis tokoh sejarah yang benar-benar ada, namun sebagian kisahnya fiksi. Terutama sekali karena minimnya catatan fakta sejarah di masa itu. Kita harus mafhum, di zaman kolonial Belanda, pribumi sangat dibatasi. Akses ke pendidikan sangat terbatas, sehingga yang mampu membaca dan menulis juga amat sangat sedikit. Masa muda Ahmad Dahlan sebelum ia berangkat berguru ke Mekkah, Saudi Arabia tidak ada catatannya. Maka, sutradara Hanung Bramantyo dan timnya berupaya mereka ulang secara fiksional.
Dikisahkan, pemuda Muhammad Darwis gelisah. Putra seorang ulama Yogyakarta Kyai Abubakar itu sedih melihat praktek penerapan Islam yang bercampur animisme kejawen. Maka, dengan restu orangtuanya, ia berangkat haji ke Mekkah sekaligus berguru agama di Saudi Arabia. Ia kembali lima tahun kemudian sebagai seorang pemuda yang matang. Sebagai kebiasaan di tanah Jawa, Darwis pun mengganti namanya menjadi ‘nama tua’: Ahmad Dahlan.
Ketika ayahnya wafat, Dahlan pun didapuk sebagai penggantinya. Ia menjadi salah satu imam masjid termuda di wilayah kraton Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Segera saja pengajiannya ramai dipenuhi oleh kaum muda, terutama karena pandangan-pandangannya tentang Islam yang progresif. Hal ini menimbulkan kegelisahan di kalangan para ulama yang lebih senior. Ia dipandang menghasut dan menyebarkan ajaran sesat. Apalagi setelah ia mampu membuktikan bahwa Masjid Besar yang berada di lingkungan kraton dan hampir semua masjid di Yogyakarta salah arah kiblatnya. Dengan kompas dan peta, Ahmad Dahlan menunjukkan kiblatnya tidak mengarah ke Mekkah, melainkan ke Afrika.
Ahmad Dahlan dimusuhi, bahkan tindakan kekerasan dilakukan. Tempat pengajian dan pengajaran yang terletak di samping rumahnya dirubuhkan. Tapi Ahmad Dahlan tak kehilangan akal, ia malah mengajarkan Islam di sekolah Belanda. Tempat pengajaran baru yang didirikan pun ‘bergaya barat’ dengan memakai meja dan kursi, bukan sekedar ‘lesehan’. Ia dikutuki bid’ah alias sesat. Tapi Ahmad Dahlan tak gentar. Pengikutnya makin lama makin banyak, juga beberapa kyai tua mulai ikut mendukungnya.
Ia kemudian menikahi sepupunya, Siti Walidah. Bersama istrinya dan para sahabat setianya seperti Dirjo, Fahrudin, Hisyam, Sangidu dan Sudja, Ahmad Dahlan lantas mendirikan organisasi bernama “Muhammadiyah”. Tujuannya adalah memurnikan Islam dari pengaruh ajaran syirik terutama kejawen, dan kembali merujuk kepada Islam yang murni.
Secara umum, film ini memang sangat layak dipuji. Penggarapannya detail, termasuk didahului riset sejarah sebelumnya. Pakaian, bangunan dan ornamen lainnya dibuat khusus untuk film ini sehingga kemiripan dengan kondisi dan situasi abad ke-19 sangat mendekati. Meski tidak ada pemain yang bersuku Jawa, namun adat-istiadat Jawa yang mewarnai keseluruhan film cukup tertata. Saya pribadi menyukai detail penggambaran ruangan masjid yang terpisah antara raja dan kawula, termasuk keharusan menyembah rombongan Sultan saat masuk masjid. Ironis, tapi memang itulah fakta sejarahnya. Satu yang agak membingungkan saya, dimanakah sebenarnya letak masjid Ahmad Dahlan sehingga begitu menghebohkan Masjid Besar? Di film tidak diterangkan seberapa dekat jaraknya, karena di masa itu transportasi tentu sangat sulit. Kalau letaknya sangat di pedalaman, hampir tidak mungkin akan memberikan pengaruh langsung kepada Masjid Besar yang merupakan masjid resmi Kraton Kesultanan Ngayogyokarto Hadiningrat.
Selain itu, hampir semua pemain bermain apik. Sinematografi dan pengambilan gambarnya bagus, tak heran ia diganjar The Best Picture dalam Festival Film Bandung pada 6 Mei 2011.


Nama Dosen : Dirgantara Wicaksono
Mata Kuliah : Pengembangan Pembelajaran Pkn di SD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar